Ibu-Ibu Demo Tolak Kenaikan Harga BBM

Sejumlah ibu rumahtangga berunnjukrasa di Palembang, Sumatera Selatan, untuk menolak rencana kenaikan harga BBM, Selasa (20/3/2012).

PALEMBANG, KOMPAS.com- Unjukrasa menentang kenaikan harga BBM bermunculan di Palembang, Sumatera Selatan, sejak awal pekan ini. Selasa (20/3/2012), gedung DPRD Sumsel diramaikan dua kelompok pengunjukrasa yang berbeda.

Kami melakukan unjukrasa ini karena para ibu rumah tangga yang merasakan pertama dampak kenaikan BBM ini.

Kelompok pertama terdiri dari sekitar 50 ibu rumah tangga yang tergabung dalam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Sumsel. Di sela orasi, mereka menggelar aksi teatrikal dengan alat-alat dapur dan menggendong bayi yang tak mendapat susu karena harganya terlalu mahal.

“Kami melakukan unjukrasa ini karena para ibu rumah tangga yang merasakan pertama dampak kenaikan BBM ini. Sekarang ini dampaknya sudah terasa karena harga-harga sudah naik. Padahal harga BBM sendiri belum benar-benar naik. Bagaimana nanti kalau sudah benar-benar naik,” kata Ketua 1 Muslimah HTI Sumsel Qisthy Yetti Handayani.

Kelompok kedua adalah gabungan dari 11 organisasi mahasiswa di Palembang. Mereka menggelar aksi teatrikal dengan berpakaian dan bercaping layaknya petani sembari melumuri tubuh mereka dengan lumpur.

Aksi ini dimaksudkan memperlihatkan derita rakyat kecil yang akan kian miskin apabila harga BBM bersubsidi dinaikkan. “Inilah penderitaan rakyat kecil, lama-lama mereka hanya bisa berpakaian lumpur saja karena semua barang semakin mahal harganya,” kata salah satu pemain teatrikal.

Di sela orasi, para mahasiswa meneriakkan yel-yel “BBM naik, SBY turun”. Aksi ini juga diwarnai pembakaran poster Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono. Kedua aksi berlangsung dengan penjagaan petugas kepolisian. Kedua kelompok tersebut berencana akan menggelar unjukrasa lebih besar jika pemerintah tetap menaikkan harga BBM bersubsidi.

Fauzi Bowo Calon Gubernur DKI Terkaya

JAKARTA, KOMPAS.com — Dari lima calon gubernur DKI Jakarta yang melaporkan harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Fauzi Bowo tercatat sebagai yang terkaya.

Berdasarkan laporan harta kekayaan negara (LHKPN) yang diakses di KPK, Selasa (20/3/2012), harta Fauzi Bowo alias Foke mengungguli empat calon lain yang juga melaporkan LHKPN mereka.

Foke tercatat melaporkan harta kekayaannya pada 31 Mei 2007 dan 26 Juli 2010. Pada 2007, total harta Foke mencapai Rp 33 miliar dan 150.000 dollar Amerika Serikat. Kemudian pada 2010, harta calon gubernur (cagub) yang mendapat dukungan Partai Demokrat ini mencapai Rp 46,93 miliar dan 200.000 dollar Amerika Serikat.

Setelah Foke, menyusul Joko Widodo yang memiliki total harta Rp 18 miliar dan 9.483 dollar Amerika Serikat per 28 Februari 2010.

Harta kekayaan Joko Widodo alias Jokowi yang masih menjabat Wali Kota Solo, Jawa Tengah, itu meningkat dibandingkan tahun 2008. Pada 2008, harta Jokowi yang dilaporkan ke KPK senilai Rp 14 miliar ditambah 4.437 dollar Amerika Serikat.

Kemudian, menyusul Alex Noerdin dengan total harta Rp 10,6 miliar per 1 September 2006. Alex yang masih menjabat Gubernur Sumatera Selatan itu tidak tercatat melaporkan hartanya lagi selain 2006.

Lalu, di urutan keempat ada Hidayat Nur Wahid dengan total harta senilai Rp 6 miliar ditambah 10.706 dollar Amerika Serikat yang dilaporkan pada Desember 2009. Harta Hidayat, anggota Komisi I DPR, itu meningkat lebih dari 10 kali lipat dibandingkan pada Desember 2006. Saat itu, kekayaan Hidayat hanya Rp 455 juta ditambah 5.000 dollar Amerika Serikat.

Terakhir, calon independen Hendardji Soepandji. Asisten Pengamanan Kepala Staf Angkatan Darat itu tercatat melaporkan hartanya pada 25 November 2007 dan 31 Oktober 2008. Total harta Hendardji pada 2007 mencapai Rp 4,945 miliar dan pada 2008 meningkat menjadi Rp 5,036 miliar.

Calon lainnya, Faisal Basri, tidak memiliki catatan LHKPN di KPK karena yang bersangkutan bukan pejabat atau penyelenggara negara sehingga tidak wajib melapor.

Ini Sebab Serangan Kumbang “Tomcat”

Seragga genus Paederus. Golongan serangga ini mampu memproduksi toksin bernama paederin yang mengakibatkan dermatitis.

JAKARTA, KOMPAS.com — Serangan serangga tomcat dari genus Paederus membuat masyarakat bingung. Salah satu pertanyaannya adalah, mengapa serangga ini tiba-tiba muncul dalam jumlah banyak dan menyerang warga?

Pakar serangga dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Aunu Rauf, mengungkapkan bahwa serangan tomcat bisa terjadi akibat kombinasi beberapa faktor.

Aunu menuturkan, serangga ini berkembang di tanah dan menyukasi tempat yang lembab. Wilayah persawahan adalah habitat favorit serangga ini karena lembab dan menyediakan makanan berupa wereng coklat.

“Di akhir musim hujan atau saat panen, padi diambil dan berpengaruh pada populasi wereng. Ini akan mengganggu habitat kumbang tersebut,” urai Aunu.

Saat akhir musim hujan, tomcat sudah dalam tahap dewasa atau imago. Serangga sudah bisa terbang mencari makan sehingga ketika habitat terganggu, maka serangga jenis kumbang tersebut akan terbang mencari habitat baru.

“Saat terbang itulah mungkin kumbang yang tertarik cahaya ini menemukan lokasi serangan di apartemen yang terang,” papar Aunu yang tahun lalu juga mempelajari tentang merebaknya ulat bulu.

Aunu mengungkapkan, tomcat sebenarnya tidak menyengat dan menggigit. Namun, ketika terganggu, serangga ini akan mengeluarkan cairan racun bernama paederin.

“Cairan ini yang menyebabkan warga mengalami kulit melepuh dan gatal seperti yang dialami di Surabaya. Cairan bisa keluar kalau serangga ini dipencet,” Aunu menerangkan.

Khusus untuk serangan di apartemen, Aunu mengungkapkan bahwa lokasi apartemen yang berada di kawasan mangrove bisa menjadi salah satu penyebab.

“Kawasan mangrove menjadi salah satu habitat serangga ini karena lembab. Kalau terganggu, serangga bisa terbang ke sekitarnya dan menyerang,” kata Aunu.

Dilaporkan bahwa kawasan mangrove di dekat Apartemen East Coast di Surabaya sudah rusak. Hal ini menyebabkan populasi Paederus yang ada di hutan mangrove terganggu.

“Jika hutan mangrove sudah rusak, maka logis kalau terjadi serangan karena serangga ini pasti akan mencari lingkungan baru,” papar Hari Santoso, pakar serangga dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Hari menambahkan, serangga tomcat juga bisa merebak dan menyerang akibat melimpahnya populasi hewan yang bisa dimakannya. Tomcat biasanya memakan serangga lain yang masih dalam tahap telur atau nimfa.

Hari mengatakan, saat ini yang perlu diupayakan adalah mengajak masyarakat memahami serangga tomcat dan cara mencegah dampak negatif yang bisa terjadi.

Tomcat memiliki kepala berwarna hitam serta dada dan perut yang berwarna oranye. Ukuran tomcat lebih kurang 1 cm dengan sayap yang tak menutupi seluruh abdomen.

Hari mengatakan, jika tomcat hinggap di kulit, warga tak perlu memencetnya. Serangga ini cukup dihalau dengan tiupan atau kertas. Pencetan justru membuat serangga mengeluarkan cairan racun.

Ibunda Aburizal Bakrie Tutup Usia

Hj. Roosniah Achmad Bakrie (almh) membagikan sedekah kepada anak Yatim Piatu dan fakir Miskin

TANGERANG – Istri pendiri Grup Bakrie, Roosniah Bakrie, meninggal dunia pada pukul 15.40, Selasa 20 Maret 2012, di RS Siloam Karawaci, Tangerang.

“Semoga dia diampuni kekhilafannya & diterima di tempat yang terbaik di sisi Allah SWT. Amien,” kata juru bicara keluarga Aburizal Bakrie, Lalu Mara Satriawangsa, melalui sambungan telepon dengan VIVAnews.

Ibunda Aburizal Bakrie ini meninggal pada usia 85. Jenazah akan disemayamkan di rumah duka, Jl. Terusan Hang Lekir IV, No.32, Simprug, Jakarta Selatan.

100 Mobil Digratiskan Masuk Jalan Tol, Jasa Marga Tidak Rugi

Direktur Utama PT Jasa Marga, Adityawarman

Direktur Utama PT Jasa Marga, Adityawarman

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Utama PT Jasa Marga Adityawarman mengaku tidak mengalami kerugian dari aksi yang dilakukan Menteri BUMN Dahlan Iskan, yang menggratiskan sekitar 100 mobil masuk jalan tol di gerbang Tol Semanggi menuju Slipi, Selasa (20/3/2012) pagi.

“Oh, enggak ada soal kerugian,” ujar Adityawarman ketika dihubungi Kompas.com, Selasa. Menurutnya, terjadinya antrean di gerbang Tol Semanggi karena hanya dua pintu yang dibuka tadi pagi disebabkan karena ada petugas yang terlambat masuk gardu sehingga ada gardu yang tidak dibuka. Kebetulan saat itu Dahlan Iskan berada dalam antrean.

Peristiwa tadi pagi dinilai Adityawarman sebagai hal yang manusiawi dan pihak Jasa Marga sedang melakukan penyelidikan terhadap kejadian tersebut. Yang jelas Jasa Marga berupaya agar peristiwa serupa tidak lagi terjadi di kemudian hari.

“Kita akan coba melihat bagaimana cara mengaturnya. Kita lihat pelan-pelan,” ujar Adityawarman.

Seperti diberitakan, Menteri BUMN Dahlan Iskan mendadak menjadi petugas pintu tol lantaran gusar melihat antrean panjang di gerbang Tol Semanggi menuju Slipi, Selasa pagi. Mantan Dirut PLN ini melihat antrean mobil yang sangat panjang di depan pintu tol tersebut.

Dahlan pun turun dari mobil dan menemukan dua loket tol yang kosong. Hanya satu loket manual dan satu loket otomatis yang buka. Dahlan diberitakan langsung masuk ke loket itu dan membuang kursi yang ada di situ. “Tidak ada gunanya kursi ini,” katanya.

Menurut penuturan Kepala Humas Kementerian BUMN Rusdi, Dahlan kemudian memutuskan membuka pintu penghalang. Mobil yang antre saat itu diminta segera masuk tol tanpa bayar agar antrean berkurang. Sekitar 100 mobil masuk tol secara gratis. Dahlan mengatakan, dirinya bertanggung jawab atas kelancaran di gerbang tol. “Kalau Jasa Marga merasa dirugikan, suruh tagih ke saya. Saya bayar,” kata Dahlan.

MTI: Antrean Tol, Harusnya Indonesia Meniru Malaysia

Padat merayap kendaraan di tol dalam kota dari arah Semanggi menuju tol Cikampek dan tol Jagorawi, Jakarta, Sabtu (5/3/2011).

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Muslich Zainal Asikin berpendapat, seharusnya ada perbaikan teknologi untuk mengatasi panjangnya antrean masuk ke jalan tol. Menurut dia, seharusnya tidak ada lagi pembayaran tol dengan cara tunai.

“Seharusnya bayar tol tidak pakai berhenti. Tirulah negara-negara maju, atau nggak usah jauh-jauh tiru Malaysia. Di Malaysia saya kira nggak ada lagi berhenti untuk bayar tol,” ujar Muslich ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (20/3/2012) untuk menanggapi kejadian Menteri BUMN Dahlan Iskan yang mendadak menjadi petugas pintu tol lantaran gusar melihat antrean panjang di gerbang Tol Semanggi menuju Slipi, Selasa pagi.

Dia menerangkan, sistem pembayaram tol di negara tetangga tersebut sudah terhubung dengan bank. Pemilik mobil mendaftarkan nomor mobilnya ke semacam operator. Nomor mobil tersebut nanti terintegrasi dengan rekening pemilik mobil. Saat pengendara masuk jalan tol, pembayarannya pun otomatis dipotong dari rekening. “Sudah tidak ada lagi transaksi cash (tunai),” tegas Muslich.

Dengan cara penggunaan teknologi seperti itu, kata dia, maka antrean masuk tol hanya untuk membayar pun tidak akan ada lagi.

Musclich pun berpendapat, loket tol juga harus diperbanyak. Loket harus seimbang dengan volume kendaraan yang masuk ke jalan tol.  Selain itu, seharusnya loket tol berada agak menjorok ke dalam tol. Dengan begitu, antrian pun tidak memakan atau membuat macet jalan non tol. “Posisi loket tol dibawa masuk lebih ke dalam (jalan tol). Kalau dia terlalu menjorok ke luar, bisa terjadi kemacetan di jalan luar non tol,” pungkas Muslich.

Seperti diberitakan, Menteri BUMN Dahlan Iskan mendadak menjadi petugas pintu tol lantaran gusar melihat antrean panjang di gerbang Tol Semanggi menuju Slipi, Selasa pagi. Dahlan melihat antrean mobil yang sangat panjang di depan pintu tol tersebut. Tak kurang ada sekitar 30 mobil yang antre di depan gerbang tol tersebut “Padahal saya sudah menginstruksikan berpuluh-puluh kali bahwa antrean paling panjang 5 mobil,” kata Dahlan.

Ia pun langsung turun dari mobilnya dan menemukan dua loket tol yang kosong. Hanya satu loket manual dan satu loket otomatis yang buka. Dahlan pun langsung masuk ke loket itu dan membuang kursi yang ada di situ. “Tidak ada gunanya kursi ini,” katanya.

Menurut penuturan Kepala Humas Kementerian BUMN Rusdi, Dahlan kemudian memutuskan membuka pintu penghalang. Mobil yang antre saat itu pun akhirnya diminta segera masuk dan gratis agar antrean berkurang. Sekitar 100 mobil masuk tol secara gratis.

Traffic Light Rusak, Pengendara Di Palu Sering Kali Nyaris Baku Tabrak

Sering Kali Nyaris Baku Tabrak

PALU, MERCUSUAR – Sejumlah warga mengeluhkan kondisi traffic light yang terletak di persimpangan Jalan Tadulako-Jalan Gatot Subroto-Jalan Soeprapto. Pasalnya para pengendara sering kali nyaris bertabrakan akibat traffic light tersebut rusak.

Ronal (23), warga Jalan Raja Moili mengaku kesal setiap kali melintas di jalan tersebut. Bukan hanya satu kali ia selalu nyaris mengalami insiden tabrakan dengan kendaraan lain. ”Sejak itu lampu merah rusak, sudah lebih dari satu kali saya hampir baku tabrak di perempatan itu karena saya kan kebetulan kerja di toko Jalan Tadulako, jadi tiap hari saya pasti lewat di situ,” tandasnya, Rabu (14/3).

Senada, Fatimah, warga Jalan Slamet Riyadi meminta pemerintah segera memperbaiki kerusakan pada traffic light sebelum ada pengendara yang menjadi korban. ”Kalau begini kondisinya, mungkin sudah ada yang pernah tabrakan di jalan ini tapi kita tidak tahu. Jadi sebelum korban bertambah, sebaiknya segera diperbaiki,” harapnya.

Pantauan Mercusuar, sejumlah traffic light yang terkadang mengalami gangguan pada lampunya yakni traffic light yang berada di persimpangan Jalan Juanda dan Jalan Mangun Sarkoro serta persimpangan di Jalan Emi Saelan dan Jalan Basuki Rahmat.

Nachrowi Ramli, Anak Gang Masjid Kramat Sentiong

Nachrowi Ramli

Nachrowi Ramli

Mayor Jenderal (Purnawirawan) Haji Nachrowi Ramli atau akrab kita panggil “Bang Nara” lahir dan besar di Jakarta, tepatnya di Gang Masjid Jalan Kramat Sentiong, pada 12 Juli 1951. “Rumah kami itu halamannya luas dan suasana Sentiong saat itu sangat Betawi. Di belakang rumah induk yang bergaya Betawi, ada lima rumah lagi yang ditempati tiga adik bapak, satu tukang becak—bapak kasih karena kasihan daripada dia tidur di becak, dan satu lagi disewakan.”

ANAK GANG MASJID, KRAMAT SENTIONG

Bapak Nara, Ramli bin Miun, adalah anggota Laskar Rakyat yang alih profesi menjadi pegawai Percetakan Negara tapi kemudian mengajukan pensiun dini dan membuka usaha percetakan sendiri. Nara masih ingat bagaimana ia membantu bapaknya. “Pulang sekolah, saya kempit tas berisi buku kwitansi dan bon bikinan bapak. Saya bawa tuh ke Senen, Jatinegara, dan lain-lain. Semuanya dengan berjalan kaki karena angkutan umum masih jarang.”

Masa kecil Nara diisi dengan kegiatan mengaji di madrasah dan di Perguruan Jamiatul Wasliyah tak jauh dari rumahnya. Ia punya guru ngaji favorit, antara lain Ustadz Muin, Ustadz Almudaris, dan Ustadz Ali Sofyan. “Mereka digandrungi karena cara penyampaiannya, dan pergaulannya juga bisa match dengan murid-muridnya. Saya merasa itulah yang menghantarkan saya dekat ke agama, dan bisa menulis, membaca, dan matematika dalam bahasa Arab,” ujar Nara.

Ketika Nara duduk di kelas II SMP, bapaknya meninggal dunia. Bekas luka akibat menginjak merang ketika bergerilya di bekas persawahan di Karawang, Jawa Barat, berubah menjadi infeksi sehingga harus dioperasi, tapi gagal. Ramli bin Miun, pejuang Laskar Rakyat, menghembuskan nafas terakhir pada usia 53 tahun. Sejak 7 Juli 1965 itu Nara menjadi anak yatim.

Peristiwa G 30 S yang meletus beberapa bulan kemudian ikut menyeret Nara yang waktu itu kelas dua SMP. Nara bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) Rakarsa, rayon Kramat Salemba. “Hampir tiap hari saya dan teman-teman naik truk, ikut demo kemana-mana. Ketika Arif Rahman Hakim tertembak di depan istana dan jaket kuningnya yang berlumuran darah diarak kemana-mana, saya ikut.”

Untuk membantu perekonomian keluarga—karena dari usaha percetakan peninggalan sang bapak saja tidak cukup—Nara menjadi penyalur aneka barang kebutuhan pokok, utamanya telur. “Setiap minggu itu saya bisa ngeborong 10 sampai 15 peti telur. Satu peti isinya 200 butir. Ngambilnya dari pedagang di Senen. Pertama ambil sedikit dulu dan saya bayar tepat waktu sehingga lama-lama ada kepercayaan dan bisa bayar dua minggu kemudian. Untuk menjaga kualitas telur kita kudu ngerti. Jadi masa itu saya udah jago ngeker telur.”

Tamat SMP Muhammadiyah 3, Nara melanjutkan ke SMA Muhammadiyah 1 di Jalan Kramat Raya 49 Jakarta Pusat. Mata pelajaran favoritnya adalah ilmu pasti dan nilainya selalu paling tinggi, sehingga jurusan itulah yang dipilihnya ketika naik ke kelas dua. Karena pintar dalam ilmu pasti, teman-temannya meminta Nara mengajari mereka, bahkan sampai harus menginap segala kalau musim ujian tiba. “Soal ilmu pasti ini turunan dari ibu saya. Dia pendidikan Belanda dan sempat ikut pendidikan staf di RS Cipto Mangunkusumo. Ibu itu ngitung apa-apa, cepet aja,” cerita Bang Nara.

Ada dua guru yang cara mengajarnya membuat Bang Nara terkesan. Pertama, guru ilmu analit ruang bernama Pak Idris. “Kalau ngajar, dia suka nyuruh saya maju, dan saya bisa selesaikan. Orangnya tidak begitu tinggi, sepatunya selalu pake tali, dan itu buat nendang. Jadi kalau nggak bisa, kita ditendang. Kalau kita nggak bisa jawab, dia langsung bilang ‘Bodoh. Kalau kalian nggak suka belajar, silakan keluar’. Sampai satu setengah tahun lalu sebelum dia meninggal, kami masih kontak.”

Guru lain yang dikagumi Bang Nara adalah adalah Pak Djafar A.R, orang Aceh yang menjadi guru civic atau kewarganegaraan di kelas satu dan kelas dua. “Kewarganegaraan itu kan mengangkat rasa nasionalisme kita. Nah, saya juga terkesan dengan caranya mengajar. Dia juga selalu menunjuk saya sebagai ketua rombongan kalau ada kunjungan ke SMA-SMA, misalnya ke SMA Muhammadiyah di Malang. Jadi semua jadwal saya yang siapkan, materi yang dibicarakan dalam pertemuan, pertandingan olahraga persahabatan, dan sebagainya. Makanya ketika saya lulus Akabri, dia bilang ‘sudah pantaslah itu’.”

Nara mengakui sangat menikmati masa SMA, dan pengajaran yang dia terima semasa sekolah membentuk kepribadiannya. “Kalau di Muhammadiyah masuk kelas kan baca Al Fatihah dulu sebelum belajar, pulang baca Wal Asri (Surah Al-‘Ashr). ‘Demi waktu. Manusia yang tidak memanfaatkan waktu, akan merugi.’ Ini saya catat betul.***

BERANI TIDAK DIKENAL

Peristiwa G 30 S pada 1965 tidak saja mengubah peta perpolitikan di tanah air, tapi juga masa depan Nara. Untuk pertama kalinya Nara bertemu Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, sekarang Kopassus) Sarwo Edhie Wibowo. “Orangnya gagah, matanya tajam kayak kucing. Dan sama rakyat deket. Kita yang waktu itu demo, boleh naik tank. Dia bahkan turun tank, dia ikut parade di jalan.” Nara—yang waktu itu kelas dua SMP—langsung menjadikan Sarwo Edhie sebagai idola.

Selain silat yang memang sudah dipelajarinya sejak kecil, Nara giat berolahraga seperti tenis, tenis meja, dan angkat beban. Ia membuat sendiri halter, dari dua kaleng bekas susu dicor dan disambungkan dengan sebatang besi. Setiap pagi dan sore, Nara berlatih. “Badan saya itu, istilah anak-anak sekarang, six pack.” Kebugaran fisik itu sangat membantunya ketika mengikuti seleksi Akabri mulai dari tingkat daerah, pusat, hingga lolos ke ke Magelang tahun 1969.

Waktu empat tahun di Lembah Tidar merupakan masa penuh ujian mental dan fisik namun Bang Nara berhasil melewatinya. Keinginannya hanya satu: mengabdi kepada Bangsa dan Negara. Bersama ratusan taruna lainnya, termasuk Susilo Bambang Yudhoyono, Nara diwisuda pada 1973. Selanjutnya ia mengikuti kursus kecabangan teknik elektro selama enam bulan di Pusat Pendidikan Perhubungan TNI AD di Cimahi, Jawa Barat. Di sana untuk pertama kali ia belajar ilmu sandi. Nilainya untuk mata pelajaran itu seratus.

Penugasan pertama Nara adalah sebagai perwira sandi di Badan Pelaksana Sandi (Balak Sandi) Mabes TNI AD di Jakarta. Karena nilainya bagus ketika mengikuti kursus kecabangan teknik elektro, ia ditunjuk untuk mengikuti pendidikan di Akademi Sandi Negara tahun 1978. Ia merupakan satu-satunya tentara di antara 20 siswa angkatan keempat di akademi yang menerapkan sistem gugur per semester itu. Peserta lainnya dari kejaksaan dan lulusan SMA. Waktu itu ia belum genap seminggu menjadi pengantin baru, menikahi gadis yang telah menjadi pacarnya selama lima tahun: Alfina Evi Maria.

Nara menyelesaikan pendidikan dalam waktu dua tahun dan lulus sebagai salah satu siswa terbaik sehingga berhak menyandang gelar Ahli Sandi Tingkat III—gelar yang langka waktu itu. Makin mantaplah ia berkarir sebagai perwira sandi, sebuah dunia yang punya aturan main sendiri: “Berani tidak dikenal”.***

BERTUGAS SEBAGAI DIPLOMAT

Pada 1984 Nara terpilih untuk mengikuti persiapan penugasan luar negeri. Ia ditarik ke Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dan selanjutnya diperbantukan ke Departemen Luar Negeri. Selama dua tahun bekerja di Pusat Persandian Deplu yang mempunyai jejaring dengan 101 kedutaan Indonesia di seluruh dunia, Nara yang saat itu berpangkat kapten, belajar politik luar negeri. “Suasana Perang Dingin waktu itu begitu tegang dan setiap hari saya menerima laporan mengenai kasus-kasus di luar negeri, dan laporan setiap dubes ke Menlu.”

Penugasan baru ini menambah cakrawala pengetahuan dan mempertajam kemampuan analisa Nara. Dari yang tadinya hanya tahu seputar Angkatan Darat—bahwa setiap pagi Panglima TNI menerima laporan Pangdam mengenai situasi politik keamanan seperti ada tembak-menembak, penyelundupan, dan segala macam—menjadi paham situasi global. Ia juga mempelajari bagaimana tata cara pergaulan di dunia diplomat yang memiliki aturan tersendiri.

Awal Agustus 1986, Nara ditempatkan sebagai Atase Administrasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, Mesir. Belum genap satu minggu, tugas berat langsung menyambutnya. Bang Nara harus mengamankan perjalanan istri Wakil Presiden Umar Wirahadikusuma yang berkunjung ke Kairo dan sekitarnya. Sepekan kemudian Nara harus terbang ke Harare, Zimbabwe, untuk membantu kelancaran misi delegasi Indonesia dalam KTT Non Blok ke-VIII.

Untuk menanamkan rasa cinta tanah air, Nara menggagas pelaksanaan upacara bendera di KBRI Kairo. Ia mendidik anak-anak Indonesia dengan pelajaran berbaris, bahkan memesan langsung baju seragam paskibra ke Jakarta. Bersama Duta Besar Abdurrahman Tirtasudirja dan atase pertahanan, ia ikut memberikan pemahaman mengenai Pancasila dan UUD 1945 kepada ratusan mahasiswa yang sudah lama meninggalkan tanah air.

KBRI di Kairo merupakan jangkar untuk sejumlah kedutaan besar RI di benua Afrika, antara lain Sudan, Somalia, dan Jibouti. Belasan kedubes RI lainnya yang sistem komunikasinya tidak sampai ke Jakarta, melaporkan situasi mereka masing-masing ke Kairo, baru diteruskan ke Jakarta.

“Waktu Perang Teluk pertama pecah pada 1990, kita sudah siapkan radio dari yang gede sampai yang kecil. Dengan yang kecil ini kita sudah siap menggelandang di padang pasir sebab semuanya kan dibom sama Irak. Semua perintah operasi sudah saya susun. Anak-anak saya semua, yang masih kecil-kecil, sudah saya siapkan kopernya satu-satu. Ada apa-apa, berangkat! Sementara saya sebagai perwira komunikasi, sesuai prosedurnya, harus meninggalkan lokasi paling belakangan.”

Untunglah situasi membaik. Pada 1991 Nara pulang ke tanah air. Sebagai satu-satunya ahli sandi tingkat III di TNI, Presiden Soeharto pun turun tangan dalam menentukan tempat tugasnya. Kepada Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Soeharto menitip pesan untuk Panglima TNI Try Sutrisno: “Kasi tau Try, ini perwira tetap di Lembaga Sandi.”***

MENGIBARKAN PANJI SANDI

Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) berdiri pada 4 April 1946 dengan nama Lembaga Sandi Angkatan Perang di Yogyakarta. Simbolnya bulu ayam dan cabe rawit. Bulu ayam berarti informasi, tulis-menulis. Sedangkan cabe rawit adalah rahasia. “Maksudnya, rahasia itu kalau dikelola dengan baik akan menguntungkan rakyat—seperti cabe rawit dikasi terasi dan garam, kan enak. Sebaliknya, informasi kalau ditelan mentah-mentah seperti cabe rawit, akan menghancurkan dan mematikan. Itu falsafahnya,” kata Nara.

Nara meniti karir dari pejabat eselon tiga pada 1991 sampai akhirnya menjadi Kepala Lemsaneg pada 2002 menggantikan Laksamana Muda B.O. Hutagalung. “Saya ingat betul ketika serah terima dari pejabat lama, itu panji sandi refleks saya kibarkan—padahal itu berat. Sejak saat itu saya ngebut menyosialisasikan pentingnya keamanan dan persandian.”

Dua hal tersebut menjadi penting karena Nara berkaca kepada pengalamannya sendiri. Banyak ruang kerja menteri, duta-duta besar, dan pejabat negara lainnya, yang tidak “steril” alias disusupi alat penyadap. Rapat-rapat penting membahas berbagai kebijakan strategis juga banyak yang bocor, baik karena disadap maupun karena belum ada kesepakatan tentang definisi “rahasia negara” dan bagaimana mengamankannya.

Untuk mencegah rapat-rapat penting—seperti sidang Kabinet disadap—Nara membeli jammer alias alat pengacak sinyal telepon genggam. Sedangkan untuk menyamakan definisi “rahasia Negara” dan prosedur pengamanannya, Nara beserta jajaran Lemasneg menyusun Sistem Persandian Nasional (SISDINA). Ia harus bekerja keras meyakinkan sejumlah menteri, pejabat Negara dan pejabat BUMN mengenai pentingnya mengamankan informasi terkait rencana kebijakan-kebijakan pemerintah.

Dua tahun setelah menjabat Kepala Lemsaneg, SISDINA pun diluncurkan pada bulan April 2004—bertepatan dengan ulang tahun Lemsaneg ke-58. Sejak itu semua kementerian dan BUMN harus memiliki fungsi sandi. Untuk menunjang upaya mengamankan rahasia negara, Lemsaneg membeli berbagai peralatan persandian. Nara memberlakukan syarat yang ketat, bahkan ia ikut menguji peralatan tersebut, misalnya dengan membawanya ke Finlandia untuk diuji pada suhu minus 20 derajat dan ke Saudi Arabia pada suhu 50 – 60 derajat. “Itu mesin nggak boleh meleleh dan nggak boleh beku. Saya nggak mau beli sembarangan,” tegas Nara.

Pencapaian Nara lainnya adalah berdirinya Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN) dengan kampusnya yang megah di Ciseeng, Bogor, Jawa Barat. Awalnya ia tidak terlibat dalam pembangunan kampus tersebut namun karena upaya pencarian lahan tidak berhasil sementara tahun anggaran akan berakhir, Nara pun ditunjuk sebagai ketua panitia.

Dapat lokasi plus rekomendasi dari pejabat setempat, masalah berikutnya adalah bangunan. “Kalau bangunan nggak jadi tahun itu juga, ngga turun duitnya. Saya cari akal, jaminannya diri saya sendiri. Tahun berikutnya, saya berhasil meyakinkan Bappenas dan Depkeu, bahwa pembangunan sekolah tersebut harus dilanjutkan.”

Untuk meningkatkan kemampuan profesional pegawai Lemsaneg, Nara membuka hubungan dengan negara-negara lain, salah satunya dengan Selandia Baru—yang memilki satu dari sedikit universitas dengan jurusan kriptologi .

Gedung Lemsaneg yang tadinya tidak memadai juga diperbaiki. Mobil dinas ditambah dan ratusan motor ikut dibeli untuk memudahkan mobilitas karyawan. Nara tidak mau kejadian yang menimpa Kepala Lemsaneg Soebardo yang dilarang masuk istana karena mobilnya jelek terulang kembali.

Di zaman Nara pula, keharusan mengikutsertakan Kepala Lemsaneg dalam tim inti keberangkatan presiden dihidupkan kembali. Terakhir kebiasaan itu ada di zaman Roebiono Kertopati, Kepala Lemsaneg yang pertama. “Kalau boleh jujur, Ibu Mega adalah presiden yang concern pada sandi,” kata Bang Nara.

Meski “hanya” berbintang dua, dalam kedudukannya sebagai Kepala Lembaga Sandi Negara, Nara merupakan satu dari sepuluh orang penentu politik dan keamanan Negara. Ia terlibat dalam berbagai rapat koordinasi politik dan keamanan yang dipimpin oleh Presiden. Adapun peserta-peserta lainnya adalah Menko Polhukam, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, dan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN).

Setelah mengabdi selama 34 tahun, Nara mengakhiri karirnya sebagai perwira intelijen dengan keahlian utama di bidang persandian pada 2008. Di kantor Menko Polhukam ia meninggalkan jejak berupa “sub sandi” yang dibentuk usai Pemilu tahun 2004. Karena andilnya dalam menangani situasi di Nanggroe Aceh Darussalam, Nara mendapat Satyalencana Dharma Nusa. Ia juga menerima bintang Jasa Utama karena pengabdiannya yang dianggap melebihi dari keharusan yang ada.

Jika Anda berkunjung ke museum sandi di dalam kompleks Benteng Vreedeburg, Yogyakarta, Nara juga punya andil dalam pembangunannya. Ia sengaja meminta Sri Sultan Hamengkubuwono X agar diijinkan membangun museum tersebut. Nara juga mendirikan sebuah bangunan di Bukit Menoreh, untuk menandai bahwa di situlah pertamakalinya sandi-menyandi untuk Republik ini dilakukan. Di tangan Mayor Jenderal (Purnawirawan) Nachrowi Ramli, panji Sandi dikibarkan dalam arti yang sesungguhnya.***

SAATNYA MENATA JAKARTA

Selama 34 tahun mengabdi sebagai perwira TNI, Nara sudah membuktikan bahwa ia mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dengan hasil yang membanggakan. Beberapa pencapaiannya bahkan jauh melebihi apa yang ditugaskan sehingga ia berhak mendapat Bintang Jasa Utama.

Persentuhan Bang Nara dengan Partai Demokrat juga adalah sebuah kisah sukses tersendiri. Nara tergabung dalam tim Echo DKI Jakarta, ikut menghantarkan Partai Demokrat meraih suara 30% untuk pemilu legislatif tahun 2009 dan memastikan SBY terpilih kembali menjadi Presiden RI periode 2009 – 2014.

Salah satu hasil Pemilu 2009 adalah terbentuknya susunan baru dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta saat itu yaitu Bapak Ferrial Sofyan terpilih menjadi Ketua DPRD DKI Jakarta. Oleh karena itu ia harus mengundurkan diri dari jabatannya di DPD Partai Demokrat. Tindakan ini merupakan salah satu kultur demokrasi yang sedang terus dikembangkan di Partai Demokrat.

Untuk mengisi kekosongan jabatan dan mempersiapkan Musyawarah Daerah, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat menugaskan Nara sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta. Baru pada Musyawarah Daerah ke-11 tanggal 4 November 2010, Nara terpilih secara aklamasi sebagai Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta.

Nara percaya pada satu prinsip manajemen yang diambil dari filosofi Jawa: Ambeg Paramarta—mendahulukan apa yang paling penting. Nara meyakini, untuk bisa memutuskan mana yang paling penting dan perlu didahulukan, informasi menjadi kunci. Seribu solusi bisa diajukan tapi kalau tidak dilengkapi dengan informasi yang komprehensif, keputusan yang diambil seorang pemimpin menjadi tidak tepat. Ketersediaan informasi yang lengkap pun tak akan berarti apa-apa bila tidak ada keberanian dari sang pemimpin untuk mengambil risiko, dalam hal ini adalah membuat suatu keputusan.

Demikian juga dalam konteks Menata Jakarta menjadi kota yang lebih aman dan nyaman. Menurut Nara, semua permasalahan akan dikaji komprehensif. Dalam soal macet misalnya, banyak solusi sudah dibuat tapi tanpa pertimbangan matang. Misalnya, busway. Sudah dibangun jalur khusus namun di sisi lain tidak ada tindakan terhadap kendaraan yang menyerobot jalur busway. Belum lagi soal kendaraan umum yang tak memenuhi syarat yang masih beroperasi di jalanan. Trotoar-trotoar dipakai untuk komersial dibiarkan di depan mata. Dan sebagainya, dan seterusnya.

Inti semuanya adalah tidak adanya ketegasan dalam menegakkan aturan dan tidak hadirnya pemimpin yang serius, tegas, dan bernyali untuk menyelesaikan persoalan.

Sebagai Ketua Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus Betawi) yang membawahi 114 organisasi, Nara juga tidak menutup mata terhadap berbagai permasalahan sosial yang ada. Desakan ekonomi membuat warga Betawi merasa tersingkirkan sehingga perlu membentuk organisasi-organisasi. Kuncinya adalah pemberdayaan, di samping orang Betawi sendiri harus meningkatkan kemampuannya sehingga mempunyai daya saing yang memadai. Sejalan dengan kedudukannya sebagai Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia wilayah DKI Jakarta, terobosan-terobosan itulah yang sedang dilaksanakan Nara.

Karena itu, sejalan dengan amanat yang diberikan oleh Musyawarah Daerah DPD Partai Demokrat DKI Jakarta kepadanya untuk maju dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada tahun 2012, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Nachrowi Ramli menyatakan: SAATNYA MENATA JAKARTA, PENUH KETEGASAN DAN KEBERANIAN.

DAMPINGI FOKE DI PILKADA DKI 2012

Siapa bakal pasangan Gubernur incumbent Fauzi Bowo untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2012 terkuak sudah. Tak lain tak bukan, nama Ketua DPD Partai Demokrat DKI Jakarta, Nachrowi Ramli yang mendampingi untuk duduk di kursi Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Hal itu terkemuka setelah salah seorang kader Partai Demokrat, Irfan Gani mengatakannya di Fauzi Center, Jl Diponegoro No 61A, Jakarta Pusat. Kata Irfan, terpilihnya pasangan ini karena keduanya memiliki ikatan yang kuat. “Foke-Nachrowi? Itu pasti. Chemistrynya sudah dapat,” kata Irfan, Senin 19 Maret 2012.

Didik Junaidi Rachbini, Sang Profesor Dari Kota Pamekasan

Didik J Rachbini

Didik J Rachbini

Prof. Didik Junaidi Rachbini dilahirkan di kota Pamekasan pulau Madura. Dengan perjalanan kurang lebih 3 jam dari kota Surabaya akan tiba di kota Pamekasan. Tepat tanggal 2 September 1960, Didik J. Rachbini dilahirkan dari pasangan suami istri, Rachbini dan Djumaatijah. Mulanya sang ayah memberikan nama Ahmad Junaidi. Teman-temannya akrab memanggil dengan sebutan Didik. Karena seringnya dipanggil Didik, maka nama Ahmad menjadi hilang. Sehingga guru SD pun menulis namanya menjadi Didik Junaidi dan menambahkan nama sang ayah dibelakangnya. Jadilah namanya berubah menjadi Didik Junaidi Rachbini.

Dia menikmati masa kecil dan remajanya di kota Pemekasan dan Jember. Dia tergolong anak yang lincah dan selalu aktif bermain dengan teman-teman sebayanya. Banyak sekali jenis permainan yang sering dilakoninya, tiga diantaranya bermain layang-layang, berenang di sungai dan memanjat pohon.

Ada cerita terkait dengan memanjat pohon. Suatu ketika dia terjatuh saat memanjat pohon akibatnya bibirnya terluka dan meninggalkan bekas luka sampai sekarang. Dan itu menjadi ciri khas dia sehingga dia pun sangat berhati-hati saat memanjat pohon.

Selain aktif bermain, dia juga cerdas dan rajin belajar. Prestasi sebagai juara kelas selalu disandangnya. Salah satu mata pelajaran ketika di SMP dan SMA yang dia senangi adalah matematika. Karena itulah dia pun bercita-cita jadi insinyur teknik sipil atau pertambangan. Namun, akhirnya dia tidak memilih jurusan teknik sipil dan pertambangan itu ketika masuk perguruan tinggi.

Didik melanjutkan kehidupannya di Jakarta setelah menyelesaikan pendidikan hingga strata-3. Didik menikah sesaat sebelum melanjutkan pendidikan tingkat strata-2 di luar negeri. Sang istri, adalah Yuli Retnani yang tak lain adalah adik kelasnya semasa bersekolah tingkat strata-1. Saat ini, sang istri pun sudah menyelesaikan pendidikan strata-3.

Didik dikaruniai 3 orang anak, yaitu Eisha, Fitri dan Imam. Anak pertama, sedang menempuh pendidikan strata-1, sedang kan anak kedua dan ketiga berturut-turut sedang menempuh pendidikan di jenjang Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Dasar.

Didik menganut konsep konservatif dalam membina keluarga terutama mendidik ketiga anaknya. Yaitu berbagi tugas untuk mengasuh anak-anaknya. Istrinya, kendati bergelar doktor, tetap berperan sebagai ibu, memandikan anak, menyiapkan bajunya, dan membantu tugas sekolah. Tidak menyerahkan sepenuhnya pengasuhan anak kepada orang lain.

Kini Didik sekeluarga tetap memilih tinggal di bilangan Depok tidak serta merta pindah ke Jakarta walaupun sebagian besar aktivitasnya berada di kota metropolitan tersebut. Selain kedekatan lokasi sekolah anak-anaknya juga lokasi untuk menyalurkan hobinya di kawasan universitas terkenal di Depok. Hobinya tersebut adalah bermain tenis dan membaca buku.

Dampingi Hidayat Nur Wahid di Pemilukada DKI Jakarta

Hidayat Nurwahid dan Didik J Rachdini yang di usung Partai Keadilan Sejahtera atau PKS menutup pendaftaran pilgub DKI Jakarta. Kedua pasangan ini datang setengah jam, menjelang penutupan yang di buka sejak tanggal 13 hingga 19 Maret 2012.

Meski di usung hanya satu partai saja, namun menurut persyaratan, syah, karena dari 15 kursi yang di butuhkan sebagai syarat maju ke pilgub, PKS memiliki 18 kursi. Dengan mendaftarnya pasangan Nurwahid dan Didik J Rachbini, maka tercatat calon gubernur dan wakil gubernur yang maju dalam pemilihan nanti, ada 4 pasangan dari parpol dan dua calon dari independen.

Profil Karir
1982 – 1983 Asisten dosen IPB, Bogor
1983 – 1985 Dosen IPB, Bogor
1985 – 1994 Peneliti LP3ES, Jakarta
1990 – 1991 Konsultan FAO
1991 – 1992 Kepala Program Penelitian, Jakarta
1992 – 1994 Wakil Direktur LP3ES, Jakarta
1993 – 1994 Dosen Universitas Nasional, Jakarta
1993 – 1995 Konsultan UNDP, Jakarta
1993 – Dosen Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta
1995 – 1997 Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana, Jakarta
1995 – Pendiri dan Pengajar di Universitas Paramadina Mulya, Jakarta
1995 – 2000 Direktur Institute for Development of Economics & Finance, Jakarta
1997 – Pembantu Rektor I, Universitas Mercu Buana, Jakarta
1998 – Dosen Program Magister Manajemen UI, Jakarta